Shaum Bukan Puasa
Oleh : Tatang Khoerudin
Sudah
lebih dari sepekan umat Islam melaksanakan ibadah shaum ramadhan, untuk beberapa orang, shaum kali ini mungkin sudah merupakan yang kesekian kalinya, bukan
hanya belasan tapi puluhan kalinya. Walaupun demikian, ramadhan tetap merupakan
hal yang ditunggu.
Terlepas
dari itu, ada satu hal yang sangat mendasar yang mampu mempengaruhi keadaan
psikologis kita saat melaksanakan shaum, hal ini biasanya tidak terasa bahkan
dianggap bukanlah sebuah kekeliruan, yang lebih memprihatinkan, kekeliruan ini
kerap dilakukan pemakaiannya oleh agen paling laris dalam mempengaruhi
masyarakat seperti media elektronik dan media cetak.
Kekeliruan
yang dimaksud adalah kekeliruan masyarakat dalam pemakaian kata puasa yang disandarkan pada bulan ramadhan. Hal ini merupakan kekeliruan
yang dapat mempengaruhi keadaan psikis masyarakat dan juga bias berambas besar
bagi kemurnian ibadah shaum kita.
Bila
melihat pada kamus, atau beberapa sumber bacaan, kata puasa berasal dari kata “upawasa” yang digunakan oleh umat Hindu
untuk salahsatu peribadatan mereka, upawasa
berarti “menyiksa diri”, sehingga bentuk dari peribadatan itu sendiri memang
bermotif dan bertujuan untuk menyiksa si pelaku itu sendiri, karena itu kita
sering mendengar da puasa yang dilakukan selama 40 hari 40 malam, yang
didalamnya full dilarang makan,
minum, hingga melakukan aktifitas suami istri.
Sedangkan
kata shaum atau shiyam, yang digunakan di dalam Islam, berasal dari bahasa arab Shaama-Yashuumu yang berarti menahan,
lebih rincinya lagi menahan dari makan, minum, jima’ dan yang lainnya pada
waktu siang hari dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
(Al-Asqalani, 2: 150, Sabiq, 1995: 319). Dari pengrtian diatas jelas perbedaan
antara makna puasa dan shaum.
Selain
dari segi makna, dari segi realita pun puasa dengan shaum ada beberapa
berbedaan. Pertama, dalam puasa tidak
dperbolehkan berbuka pada waktu malam, sebaliknya, di dalam Islam ketika shaum
justru dilarang melakukan wishal (tidak berbuka) (HR Muttafaq Alaih). Kedua, di dalam puasa atau upawasa tidak
boleh makan, minum, dan bercampur pada waktu malam, meski itu selama 40 hari
berturut-turut, sedangkan di dalam Islam, ketika shaum, kita boleh makan,
minum, bahkan melakukan hubungan suami istri pada waktu malamnya, termasuk di
bulan ramadhan ini. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat
187:
“dihalalkan bagimu pada malam hari shiyam bercampur
dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pakaian bagi mereka …
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) benang putih dan benang
hitam, yaitu fajar….”
dan
ketiga, dengan tidaknya makan dan
minum dalam waktu yang lama seperti dilakukan ketika puasa, tentu akan merusak
dan mengurangi daya tahan tubuh, sedangkan di dalam Islam dengan shaumnya, Rasulallah mengatakan bahwa
dengan shaum kita akan menjadi sehat.
Dengan perbedaan ini,
tentunya kita selaku umat Islam harus membiasakan diri melakukan segala
syariatnya dengan menyeluruh, termasuk dalam hal penamaan amalan ibadah kita,
karena sekali lagi penamaan pun akan memberikan dampak pada keadaan psikis,
dengan menamakan puasa, maka image
dari ibadah shaum di bulan ramadhan pun menjadi jelek, sebuah ajang penyiksaan
diri yang tentunya bagi anak-anak dan orang awam akan menjadi salah satu
penyebab enggannya mereka shaum di bulan mulia ini. Tetapi dengan menggunakan
kata shaum, selain menggunakan bahasa yang seharusnya, semangat dalam
penunaiannya dan mengharap ridha dari Allah menjadi bertambah. Ini menjadi
tanggung jawab kita semua, bukan hanya umat Islam secara khusus, media massa
yang terlibat dengan aktifitas shaum pun sama, mengingat peran dari media
sendiri yang begitu besar, karena kita harus berhati-hati menjaga kesucian
ibadah shaum ramadhan kita, karena balasan dari shaum Allah sendiri yang tahu
dan menentukannya. Wallahu A’lam (Ar/11)
0 komentar: